Mertamu
Aku ingat, waktu kecil aku dikenal sebagai anak yang sangat pemalu di keluarga besarku. Sering sekali rumah mbahku dijadikan markas kawan bebuyutannya yang hampir semuanya ngga ada yang kukenal. Kalaupun ditanya siapa mereka pasti mbahku menjawab mereka adalah balaku. Kearifan percakapan mereka membuatku malu akan bahasa lokalku yang sama sekali belum lancar. Jika aku bicara krama pada orang yang lebih tua aku akan mengucapkannya bercampur dengan bahasa ngoko dan bahasa Indonesia. Sungguh terdengar wagu atau tak cocok pabila diucapkan seperti itu.
Pengalaman yang sering kulakukan saat ada tamu ke rumah mbah, aku akan mengurung diri di kamar. Mendengar ngaungan yang kian membesar dibalik ruangan kecil. Awalnya aku di kamar biasa saja, cukup nyaman karena sebelumnya sudah menyiapkan beberapa cemilan yang ada. Yang bikin payah, saat itu aku ngga akan keluar kecuali ada tamu yang ingin menemuiku atau dipanggil ibuku. Otomatis ibuku akan mengetuk pintu kamarku dan menungguku membukanya. Lalu setelah keluar, aku memegang erat baju bagian belakang ibuku dengan membuntutinya kemudian menyalami para tamu dan berlari ke belakang. Coba bayangngin guys, tamu ke rumah awalnya sedikit terus lama-lama banyak. So, waktu aku kekurung dikamar bisa lebih dari 3 jam an dan itu membuatku lelah di kamar. Kalau bosan ujung-ujungnya aku tertidur dan bangun-bangun suara semarak obrolan di ruang tamu sudah padam. Itu merupakan suatu perbuatan masa kecilku yang menjadi ciri khasku oleh keluarga dan saudara-saudaraku.
Lain lagi kalau aku yang menjadi tamu. Ketika baru duduk di dalam rumah yang kukunjungi, aku pasti diam beribu bahasa. Kecuali jika sang tuan rumah menanyakan siapa aku, sekolah dimana, dan kelas berapa. Setiap berkunjung pasti sang tuan rumah menanyakan perihal itu padaku. Aku bingung mau ngapain, mau ambil cemilan pun gengsi. Yang bikin malunya lagi kalau sudah ditawarkan cemilan bisa sampai pulang aku tak menyentuhnya sama sekali. Kecuali kalau dibuatkan minuman atau disuruh makan-makanan berat. Biasanya orang tuaku akan mengode dengan godaan katanya apakah aku sedang puasa ? Dan ucapan itu membuatku tak enak hati, padahal tanganku sulit untuk menjangkau makanan yang sudah disediakan. Oleh karena itu, aku tak bisa mengambilnya kecuali minum-minuman yang sudah dibuatkan. Itu saja.
Terkadang aku berpikir, mengapa sang tuan rumah terus memaksaku untuk mengambil cemilannya. Padahal aku belum ingin memakannya. Hal sekecil itu membuatku berpikir panjang sampai pulang kerumah. Ohiya, kenapa aku tak mencicipi makanan itu, kelihatannya enak. Tapi ya sudahlah. Dari sikap berlebihanku menolak makanan itu aku jadi merasa menjadi anak yang malu-maluin orang tua di rumah orang lain. Cuman masalah menunda mengambil cemilannya saja. Kejadian itu sungguh menyadarkanku kalau segalanya yang sudah aku jumpai usah dibuat risau akan keadaan. Sesepele itu peristiwa yang aku alami kuanggap berdampak besar dikemudian hari. Rasa sungkan berlebih ternyata menimbulkan beribu ocehan yang tak mengenakkan hati. Perbuatan itu ya aku yang buat dan aku yang kena getahnya. Akhirnya aku hanya menerima dan mengikhlaskan masa kecilku yang bisa dibilang sangat pemalu dan pendiam di depan banyak orang. All started of ourselves. We start, we also to solve it.
Komentar