Lastri Rindu Ibu & Bapak
Lastri tak kuasa menahan air matanya. Rintihan tangisnya terdengar parau. Ia ingin lekas pulang ke rumah, tapi waktu terus menahannya entah sampai kapan. Matanya merah, badannya lemas, dan suaranya terdengar melemah. Ia membolak-balikkan badan ke kanan, ke kiri, mencari posisi tidur yang nyaman. Sampai ia tak kuat menahan rindu yang telah ia bungkam tuk berjumpa dengan kedua orang tuanya. Ini adalah hari ke sembilan belas ia tinggal di rumah bibi Eni. Ia sudah mulai tidak kerasan untuk berlama-lama tinggal di rumah bi Eni. Ia berharap, suara motor yang selalu lewat setiap malam di depan rumah bi Eni adalah bapaknya. Hati Lastri sudah menggebu, telinga Lastri sudah mulai panas dengan suara motor. Ia rindu berboncengan dengan bapaknya. Ia rindu bermain dengan bapak dan ibunya. Tak ada obat paling mujarab untuk membangkitkan suasana hatinya kecuali di jemput oleh bapaknya dan kumpul kembali bersama dirumahnya tercinta. Subuh ini adalah waktu paling meresahkan baginya. Ia sudah ditenggelamkan pada ingatan yang membuatnya tak beranjak dari tempat tidur. Guling yang digunakan untuk menyembunyikan wajahnya yang merah bagaikan sosok ibunya yang bisa menenangkan dirinya walaupun sejenak.
"Ya Allah, Lastri pengen pulang. Pengen peluk ibu sama bapak. Lastri kangen ibu sama bapak." Bocah kecil berusia enam tahun itu tersedu-sedu mengingat saat sebelum ia ditetapkan untuk tinggal sementara di rumah bibi Eni. Kamar kak Nila, anak sulung bi Eni, yang ditempatinya untuk tidur terasa penuh. Pikirannya kacau ingin meluapkan emosi entah kepada siapa. Ia tergugah pada suara kak Nila yang tiba-tiba menyalakan lampu kamar dan membangunkannya. Rasanya ia tidak ingin bangun, lebih baik terus tertidur dan bangun karena mendengar suara ibu dan bapaknya. Bayang-bayang rumah selalu teringat kuat saat ia terbangun. Ia memutuskan untuk duduk di sofa ruang keluarga dan menonton acara kartun di televisi. Memang, pagi-pagi begini bi Eni sibuk menyiapkan sarapan. Tidak seperti ibu Lastri yang setiap pagi membuatkannya susu dan cemilan untuk mengganjal perutnya. Di pagi yang anginnya masih terasa dingin, Lastri merebahkan badannya di kursi sofa dan menikmati acara favoritnya dengan sedikit terlintas kapan ia akan pulang ? Pandangannya menyorot kepada bi Eni yang sedang memasak di dapur. Ia melihat bi Eni seperti ibunya, yang pagi-pagi juga suka di dapur menyiapkan sarapan untuknya.
Lastri adalah anak tunggal yang sering dititipkan di rumah bibi Eni, tante Lastri yang sudah sangat dekat dengannya. Hampir setiap hari ia ke rumah bi Eni untuk bermain dengan putrinya, Nila dan Lila. Nila adalah putri pertama bi Eni yang memiliki adik baru berusia tiga tahun bernama Lila. Tiga Minggu yang lalu Nila diberi kabar kalau orang tua Lastri terkena wabah penyakit yang sedang ramai di masyarakat. Ia di beri pesan untuk menjaga Lastri karena kedua orangtuanya tidak bisa berdekatan dengan Lastri. Semenjak hari itu, Lastri memulai kehidupan barunya tanpa kedua orangtuanya. Awalnya ia cukup betah dan senang karena bisa bermain sepuasnya dengan kak Nila dan Lila sampai malam. Ia juga bebas bisa melakukan apapun yang ia suka tanpa kenal waktu dan aturan dari kedua orang tuanya. Ia bisa bermain masak-masakkan menggunakan tanah di depan rumah dan mengadu pada bi Eni kalau bajunya kotor. Pasti bi Eni akan sangat mengasihi dan memberinya perhatian dengan mengatakan, "Iya ngga papa, nanti sekalian mandi ya." Ucapan sayang itu yang Lastri sukai. Ia memang suka mencari perhatian kepada orang dewasa agar tingkah lakunya dapat dilirik dan diberikan penghargaan. Walaupun sesekali ia tidak mau mendengarkan saran dari orang tuanya, ia mencoba mengalihkan perhatian mereka agar tidak memarahinya lagi. Pernah sekali, ia melakukan hal-hal yang justru malah mendatangkan kejengkelan pada kedua orang tuanya. Niat agar mereka bisa kembali kepelukannya malah menambah gertakan kasar kepadanya. Karena sering dalam kesehariannya ia mendengar dan mendapatkan respon yang kurang baik saat ia butuh perhatian, ia tumbuh menjadi Lastri yang kebal. Sejatinya hal itu hanya ingin Lastri lakukan karena Lastri butuh perhatian dari ibu dan bapaknya. Lastri ingin apa yang ia mau bisa dikabulkan seperti teman-teman lainnya yang disegani dan diberikan perhatian penuh oleh orang tua mereka. Maka, ketika mendengar ia akan menginap di rumah bi Eni, ia sangat senang, karena selama ini bi Enilah yang seperti benar-benar mengerti jika Lastri butuh kasih sayang. Bi Eni bisa menerima Lastri yang jika ia sedang masak dan mengganggunya, bi Eni hanya melarang Lastri dengan perkataan halus atau memberinya barang lain untuk dia mainkan. Di rumah bi Enilah ia mendapatkan keluarga yang ia harapkan. Penuh perhatian dan kasih sayang yang tiada tara. Betapa bahagianya ia kini bisa berkesempatan tinggal di tempat bi Eni dan berkumpul bersama kak Nila dan Lila.
Semenjak tinggal di rumah bi Eni, kegiatan yang dilakukannya sehari-hari adalah main di rumah bersama kak Nila dan Lila atau main di lingkungan desa saja. Kalau Lila sedang tidur biasanya ia mainan sendiri atau beli jajan di warung. Saat pagi-pagi di kala Lila belum bangun, terkadang ia suka ikut bi Eni ke warung membeli kebutuhan dapur. Lastri memang suka membuntuti bi Eni kalau pergi ke warung, biar bisa beli apa yang dia mau. Dengan begitu dia bisa tak acuh terhadap mainannya ketika kak Nila atau bi Lastri mengajaknya keluar, pasti ia senang bukan kepalang. Tak hanya itu, ia juga suka bermain dengan anak tetangga bi Eni. Sampai kalau sudah betah dan akrab dengan mereka, sulit baginya di ajak untuk tidur siang. Kecuali ada penjual keliling seperti makaroni, tahu bulat, atau papeda yang kiranya menggiurkan baginya. Lantas ia mau diajak pulang untuk istirahat. Kadang-kadang ia suka memberi makan lele yang ada di kolam depan rumah bi Eni atau memberi makan kelinci milik paman Heri, ayah Lila. Malamnya, ia, Lila dan kak Nila biasanya berkumpul di ruang televisi, menonton acara favorit sambil ngemil hingga kantuk melanda lamunan mereka. Begitu terus ia lakukan sehari-hari di rumah bi Eni sampai ia merasa dititik bosan dan ingin pulang.
Hingga seminggu terakhir ini, raut wajah Lastri nampak murung dan kusut. Setiap bangun tidur, ia sering duduk di dekat jendela pintu depan rumah bi Eni sambil melamun. Ia seperti sedang berjaga-jaga, siapa tahu ada bapaknya yang tiba-tiba datang mengajaknya untuk pulang. Tapi itu seperti ilusinya saja. Bila menjumpai malam dan mulai tidur, ia teringat kasurnya yang empuk di rumah dan kipas angin yang selalu di putar setiap waktu. Namun naas, perasaannya makin terkecamuk lantaran setiap sore menjelang petang hingga akan tidur dan terbangun, ia tidak mendapat kabar kapan akan di jemput untuk pulang. Kak Nila yang menjadi perantara komunikasi antara Lastri dan kedua orang tuanya juga merasa kasihan pada keadaan Lastri yang tidak ceria lagi. Ia juga tak bisa mengantarkan Lastri pulang kerumah sekalipun ia menangis sepanjang hari. Keadaan saat ini tak memungkinkan Lastri untuk bersatu dengan kedua orangtuanya. Wabah penyakit yang sedang ramai di masyarakat dianggap rawan dan telah mengenai kedua orang tua Lastri. Hal itu membuat ia dan kedua orang tuanya tidak bisa berdekatan untuk sementara. Hidupnya terasa sunyi karena kesehariannya berubah drastis.
Saat ia sudah mulai bosan, ia selalu meminta kak Nila untuk mengirim pesan kepada ibu Lastri walau hanya sebatas basa-basi. Karena rasa bosannya mulai berontak, perasaannya seperti digantung, rindunya mulai meronta, dan perilakunya mulai sembrana. Ia mulai melakukan hal-hal di luar sikap anak kecil seumurannya. Kerap suka membantah bi Eni hingga tak selera untuk makan. Setiap melihat kak Nila dan paman Heri naik motor ia berharap bisa diajak pergi. Pandangannya begitu antusias, dan gerak-geriknya seperti memohon kalau dia sangat ingin ikut membonceng. Sebab ia sangat rindu naik motor bersama bapaknya, memutari jalanan dan menghirup udara segar. Tapi hari ini, kesabarannya sudah menguap. Gairah untuk bermain masak-masakkan bersama Lila sudah tidak dianggap menarik lagi baginya. Detak jarum jam yang tertempel di dinding ruang tengah selalu ia pandangi dan hitung berkali-kali berapa jam lagi waktu akan berkurang. Halunya membawa kepada angannya yang mungkin sedikit membungahkan hatinya padahal itu hanya dugaannya semata. Tapi ia juga sangat keras kepala, jam yang terus berjalan tentu akan semakin lama jika terus diamati. Keberadaannya di rumah bibi Eni sudah bukan hal yang menyenangkan lagi baginya. Raganya masih di dalam rumah bibi Eni, tapi pikiran dan perasaannya hanyut pada rumah yang sedang ia impi-impikan untuk disinggahi kembali. Ia membayangkan seperti apa kini kamarnya, apakah kelambu di atas kasurnya sudah berganti warna ? Atau lukisan doraemon yang ada di ruang televisinya masih ada ? Atau, ah, sepeda roda empatnya masih di simpan ? Karena ia sudah lama tidak naik sepeda memutari ruangan di dalam rumahnya yang bisa untuk sepedaan. Ia mulai berhalu, mengobrol dengan kak Nila tentang harapan yang ingin ia lakukan setelah kedua orang tuanya sembuh. Karena itulah yang ada di pikirannya kini yang ia yakini akan ia lakukan sebentar lagi. Tapi lagi-lagi setelah ia mengobrolkan semuanya kepada kak Nila, ia selalu mengeluh dengan ucapan, "Kapan Lastri pulang kak Nila ? Sekarang sudah.." sambil ia hitung jari jemari tangannya berapa hari ia sudah tinggal di rumah tante Eni.
"Kalau ibu sama bapak sudah mendingan Lastri pasti boleh pulang. Sekarang Lastri harus sabar dulu dan tetap doakan ibu sama bapak, supaya cepat bareng-bareng lagi. Yaa dek.." Sambil mengelus punggung Lastri, Nila hanya bisa mengatakan sebatas itu. Ia juga tak kuasa untuk menahan anak ini supaya bisa melewati hari-harinya yang sudah di rasa bosan. Nila tahu bagaimana menjadi Lastri yang masih sangat belia menanggung ujian seberat ini. Baginya, Lastri adalah gadis yang kuat sampai Allah yakinkan untuknya menerima ujian ini. Nila, tante Eni, dan paman Heri yang membimbing Lastri sekaligus yang diberi amanah oleh kedua orang tua Lastri juga berusaha untuk tetap tegar agar keadaan yang sedang menimpa kedua orangtua Lastri juga lekas membaik. Walaupun jauh dari orang tua, keluarga tante Lastri berusaha menjaga Lastri sebaik mungkin agar ia tidak ikut merasakan kesedihan dan keprihatinan yang melanda dirinya. Sejauh ini, sudah banyak sekali waktu yang tak terhitung. Tapi selama ini, tanpa didasari, Lastri sudah menjadi gadis kecil yang hebat dan kuat. Seumurannya sudah bisa melewati tantangan hidup yang lumayan berat untuk diterimanya. Nila pun salut dengan Lastri karena ia bisa hidup berhari-hari jauh dari orang tua dan tempat tinggalnya.
Sampai di batas akhir Lastri merasa di gantung untuk menunggu waktu pulang, tiba-tiba saat menjelang dhuhur Ibu Lastri menelpon Nila. Dengan lekas Nila mengangkatnya dan mengatakan kepada bibi Eni jika yang menelpon adalah ibu Lastri. Tentu Lastri yang seketika sedang malas-malasan di ruang televisi langsung bergegas mendekati bibi Eni untuk mendengar apa yang diucapkan ibunya melalui telepon kak Nila. Ia senang tak terkira. Ia berharap, inilah waktunya ia akan segera di jemput oleh bapaknya. Ia berdiri di samping bi Eni sambil memain-mainkan jarinya yang ia gigiti karena penasaran dan menunggu tante Eni apa yang disampaikan oleh ibunya.
"Ohya, nih anaknya lagi kepo pengen ngomong sama ibunya, udah kangen katanya." Kemudian bibi Eni memberikan telepon kepada Lastri. Langsung diambil telpon itu dengan malu-malu dan sedikit gemetar.
"Lastri sehat. Iya bu.. iya bu.. berarti Lastri pulangnya satu hari lagi ya Bu ? Jam berapa Lastri di jemput ? Iya bu.." Ia tersenyum-senyum malu dan memberikan teleponnya lagi kepada bibi Eni.
"Ciye.. yang mau pulang, yang mau peluk ibu sama bapak. Akhirnya.." Hibur Nila kepada Lastri yang terlihat tidak percaya karena harapannya sudah di ujung tanduk. Lastri juga kelihatan bahagia. Raut wajahnya kembali seperti saat awal ia datang ke rumah bibi Eni. Walaupun saat sedang bicara dengan ibunya di telepon tadi, ia tampak terharu. Tapi setidaknya, ia mendapatkan jawaban dari hari-hari yang lalu ia tanyakan kapan ia akan pulang. Nila dalam hati menyelamati diri Lastri yang luar biasa bisa melewati tantangan besar ini dari Allah. Mungkin bagi gadis seusianya, ini adalah cobaan berat yang mustahil untuk dilewati. Tapi Allah telah menjaga hatinya untuk bisa bertahan hingga kini.
Hari ini, dimana bayangan keseharian Lastri yang biasanya tidur di kamar Nila, main masak-masakkan dengan Lila di depan rumah, menonton televisi bersama di ruang keluarga menjadi kenangan yang akan terus di ingat dan menjadi sejarah bagi diri Lastri sendiri. Kerinduannya yang sudah memuncak kini telah tertaut pada impian yang dinginkannya jauh hari yang lalu. Akan bertemu dengan bapak dan ibu adalah momen yang tak terduga. Tatapan Lastri saat bersalaman untuk pamit kepada bi Eni dan kak Nila juga mengisyarakatkan ungkapan terima kasih kepada mereka yang tidak bisa ia utaran secara menyeluruh. Ia hanya bersalaman dengan terharu dan salah tingkah ketika bi Eni banyak memberikan nasihat kepadanya. Lambaian tangan Lastri yang kian menjauh saat diatas motor menuju perpulangannya ke rumah tercinta seperti tali layang-layang yang makin mengecil dan terlihat samar. Nila dan bibi Eni merasa tidak percaya terhadap hari-hari yang sudah mereka lewati bersama Lastri. Pulangnya Lastri hari ini akan memunculkan kerinduan dalam suasana rumah bibi Eni. Jawaban rindu Lastri kepada bapak dan ibunya terjawab sudah. Awan cerah dan hembusan angin sepoi seperti memberikan sambutan hangat dan penghargaan untuk Lastri. Udara yang dihirup juga lebih segar dan menyejukkan jiwa. Senyuman merekah dibibir Nila, bi Eni dan paman Heri karena merasa lega bisa menjaga Lastri hingga ia sudah bisa dibawa pulang kembali kerumahnya. Lastri juga terlihat sangat bahagia pulang diantarkan paman Heri. Walaupun ia tidak dijemput bapaknya, seperti yang ia inginkan untuk membonceng bapaknya lagi selama tidak bepergian dan hanya dirumah bi Eni saja. Setidaknya dengan diantar paman Heri bisa membawanya kepelukan ibu dan bapaknya kembali.
"Ibu.. bapak.. kalian sedang apa ? Lastri sebentar lagi sampai rumah. Tunggu Lastri ya bu, pak.. Lastri ngga sabar mau peluk ibu sama bapak." Ucapnya dalam hati. Ia begitu gugup dan dadanya terus berdegup kencang. Sepanjang perjalanan ia hanya memikirkan semua hal tentang rumah yang ia rindukan kehangatannya berkumpul bersama ibu dan bapaknya seperti dulu. Inilah hari Lastri. Rindu memang bukan kapasitas yang kecil bagi hati Lastri. Tapi mentalnya punya ruang yang luas untuk bisa melewati rasa rindunya kepada keduanya orang tuanya. Hari ini adalah saksi atas rasa rindu yang ia simpan erat di dalam hatinya dan ia tahan dengan sabarnya untuk bisa bertemu kedua orang tuanya. Kemenangan telah ia kibarkan di belakang punggungnya. Perjuangan melawan rindu nyatanya berat bagi gadis lugu nan belia itu. Tetapi, hari ini menjadi bukti atas hebatnya ia bisa melalui rintangan dengan penuh keikhlasan dan kebahagiaan.
Komentar